Kamis, 16 Juni 2011

Belajar menjadi ibu

Seorang bijak berkata : “Ibu adalah sebuah sekolah, yang apabila engkau persiapkan dia, berarti engkau telah mempersiapkan suatu bangsa dengan dasar yang baik”. Seorang ibu tentulah ia adalah seorang wanita yang memiliki ciri, sifat, dan keistimewaan tersendiri. Wajarlah bila rasulullah menyebutkan ibu dengan penegasan tiga kali baru kemudian ayah. Pun dalam Al Qur’an, Allah sangat memuliakan wanita dengan surat An Nisa. Bangsa yang besar dan beradab sangat bergantung kepada peranan wanitanya.
Proses menjadi ibu tentulah tidak semudah teori dalam buku maupun semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan proses pembelajaran sepanjang hayat. Juga tidak pula didapatkan dari bangku sekolah dan bangku kuliah. Proses ini hanya didapatkan melalui bangku kehidupan seorang wanita, dimulai dari menjadi seorang anak perempuan yang meniru prototype ibunya. Pengalaman menjadi anak inilah yang mendasari bagaimana wanita tersebut mempunyai bekal menjadi seorang ibu. Proses kemudian berlanjut menjadi remaja wanita lalu wanita dewasa yang harus memilih pasangan hidupnya kelak sampai ia menikah. Proses ini tak langsung berhenti begitu saja setelah wanita menikah. Justru langkah kedua dalam babak pembelajaran menjadi seorang ibu dimulai. Ketika menikah dan kemudian hamil, ada janin dalam rahimnya yang butuh pendidikan darinya, yang membutuhkan sentuhan kasih sayangnya, yang rindu akan sapaan hangat dari sang calon ibu selama sembilan bulan dalam alam yang serba gelap. Hanya ibu yang dia butuhkan, dari makanan fisik sampai makanan ruhnya. Ibulah supplier utama bagi janin hingga saatnya menjadi seorang bayi. Proses terus berlanjut hingga pembelajaran sesungguhnya telah dimulai dan hanya mautlah yang mengakhiri proses pembelajaran menjadi ibu.
Belajar dari banyak kisah tentang ibu yang diabadikan dalam Sejarah Al Qur’an maupun Hadits. Dari Kisah ibunda Hawa sampai kisah Asiah istri Fir’aun yang dicatat oleh Allah sebagai kisah ibu teladan. Ada pula kisah istri nabi Nuh dan Nabi Luth yang dicatat oleh Allah swt sebagai kisah istri dan ibu yang tidak bertanggung jawab. Sebagai contoh, belajar kesabaran dari kisah ibunda Maryam, ibu dari Nabi Isa AS. Dengan contoh-contoh teladan dalam Al-Qur'an dari kehidupan Maryam (as), Allah swt telah memberikan kita sebuah pesan penting. Maryam (as) diuji di dunia ini dengan kejadian yang menakjubkan. Dalam lingkungan yang sangat sulit yang menuntut banyak kesabaran, dia bertahan terhadap tuduhan yang gencar dituduhkan kepada dia. Sebagai hasil dari semua ini, Allah telah menjadikan Nabi Isa (as) berbicara sementara ia masih dalam buaian dan membebaskan ibunya dari semua tuduhan terhadap dirinya. Belajar tawakkal dari Yukabid, ibunda Nabi Musa (as), dengan keyakinan dan kepasrahan yang tinggi kepada Allah swt, beliau ikhlaskan bayi Musa dalam keranjangnya untuk dihanyutkan oleh tangannya sendiri di Sungai Nil dan pastinya diiringi dengan doa serta airmatanya. Belajar keikhlasan dan kegigihan dari Siti Hajar, Ibunda Nabi Ismail (as). Setelah Nabi Ibrahim (as) berkata kepadanya "Bertawakkallah kepada Allah yang telah menentukan kehendak-Nya, percayalah kepada kekuasaan-Nya dan rahmat-Nya. Dialah yang memerintah aku membawa kamu ke sini dan Dialah yang akan melindungi mu dan menyertaimu di tempat yang sunyi ini. Sesungguh kalau bukan perintah dan wahyunya, tidak sesekali aku tega meninggalkan kamu di sini seorang diri bersama puteraku yang sangat ku cintai ini. Percayalah wahai Hajar bahwa Allah Yang Maha Kuasa tidak akan melantarkan kamu berdua tanpa perlindungan-Nya. Rahmat dan barakah-Nya akan tetap turun di atas kamu untuk selamanya, insya-Allah."
Ikhlaslah SIti Hajar bersama bayi mungilnya, walaupun hanya dibekali serantang bekal makanan dan minuman sedangkan keadaan sekitarnya tiada tumbuh-tumbuhan, tiada air mengalir, yang terlihat hanyalah batu dan pasir kering. Kegigihan ibunda Ismail (as) ini untuk mencari setetes air untuk bayinya dari Shofa ke Marwah sekitar 7 x 2 x 150 meter atau sekitar 2,1 kilometer pun tak dihiraukannya.
Di balik kesuksesan tokoh besar selalu ada perjuangan seorang ibu yang menghantarkannya menjadi tokoh besar. Belajar impian dari ibunda Imam Ahmad Rahimahullah, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, yang memiliki proyek besar yang dapat ia persembahkan untu ummat ini. Sedari kecil, ibunya sangat memperhatikan dirinya. Setiap hari, sebelum subuh, ibunda selalu mengantarkannya ke masjid untuk shalat Subuh dan ikut dalam majelis-majelis ilmu dan dzikir. Saat itu usia Imam Ahmad baru berusia empat tahun, usia yang sangat muda untuk ukuran anak zaman ini. Belajar kedisiplinan dan keridhan dari ibunda Imam Syafi’i Rahimahullah, Fatimah binti Ubaidillah r.a, dalam kondisi telah ditinggal wafat suaminya, Idris ra dan diliputi kemiskinan tak meyurutkan langkahnya untuk menghasilkan SDM unggul. Meskipun demikian, dengan kecerdasan dan kasih sayangnya, ia mengasuh dengan tangannya sendiri setelah Syafi’i kecil lahir. Pada usia dua tahun, Syafi'i kecil diboyong sang bunda ke Mekah agar tinggal bersama Bani Muthalib yang senasab dengan Rasulullah saw.Mengapa Imam Syafi’i dapat menghafal Al Qur’an dalam usia tujuh tahun. Jawabannya ternyata ibunya selalu mengurung Imam Syafi’i di suatu kamar hingga Imam Syafi’i bisa bertambah hapalannya meskipun hanya satu ayat. la senantiasa mendorong putranya untuk mencintai ilmu. Berkat semangat yang ditularkan dari ibundanya, Syafi'i dapat menghafal Al-Qur'an pada usia tujuh tahun. Tiga tahun berikutnya, ia sudah hafal kitab Al-Muwaththa' karya Imam Malik r.a. "la ibarat matahari bagi bumi dan kesehatan bagi badan. Adakah yang mampu menyaingi keduanya?" Demikianlah tutur Imam Ahmad bin Hanbal r.a. tentang ketajaman dan keluasan ilmu Imam Syafi'i r.a. Di saat usia 14 tahun, usia yang tergolong masih muda, Syafi’i mengutarakan hasratnya kepada ibunya untuk merantau mencari ilmu. Sang bunda merasa berat, namun akhirnya diizinkanlah syafi’i mencari ilmu. Sebelum melepaskan Syafi'i berangkat, maka ibundanya mendo'akannya :
"Ya Allah Tuhan yang menguasai seluruh Alam ! Anakku ini akan meninggalkan aku untuk berjalan jauh, menuju keredhaanMu. Aku rela melepaskannya untuk menuntut Ilmu Pengetahuan peninggalan Pesuruhmu. Oleh karena itu aku bermohon kepadaMu ya Allah permudahkanlah urusannya. Peliharakanlah keselamatanNya, panjangkanlah umurnya agar aku dapat melihat sepulangnya nanti dengan dada yang penuh dengan Ilmu Pengetahuan yang berguna, amin!"
Selesainya berdo'a ibundanya memeluk Syafi'i kecil dengan penuh kasih sayang dan dengan linangan air mata karena sedih untuk berpisah. Sambil berkata: "Pergilah anakku Allah bersamamu! Insya-Allah engkau akan menjadi bintang Ilmu yang paling gemerlapan dikemudian hari. Pergilah sekarang karena ibu telah ridha melepaskanmu. Ingatlah bahwa Allah itulah sebaik-baik tempat untuk memohon perlindungan ! Selepas ibunya mendo'akan Syafi'i, maka Syafi'i mencium tangan ibunya dan mengucapkan selamat tinggal kepada ibunya. Sambil meninggalkan ibunda yang sangat dikasihinya dengan hati yang pilu Syafi'i melambaikan tangan mengucapkan salam selamat tinggal, dan mengharapkan ibundanya senantiasa mendo'akannya untuk kesejahteraan dan keberhasilannya dalam menuntut Ilmu Pengetahuan yang berguna.
Belajar kyoiku mama dari para ibu di Jepang, kebijakan ryosai kentro (istri yang baik dan ibu yang arif), yang menetapkan posisi perempuan selaku manajer urusan rumah tangga dan perawat anak-anak bangsa. Sejak dulu, filosofi ini merupakan bagian dari mindset Jepang dan menjadi kunci pendidikan dari generasi ke generasi. Pada paruh kedua abad XX, peran kerumahtanggaan perempuan Jepang kian dimantapkan selaku kyoiku mama atau education mama. Dengan kesadaran para ibu Jepang sendiri. Mereka menilai diri sendiri dan, karena itu, dinilai oleh masyarakat berdasar keberhasilan anak-anaknya, baik sebagai warga, pemimpin, maupun pekerja. Banyak perempuan Jepang menganggap anak sebagai ikigai mereka, rasionale esensial dari hidup mereka. Setelah menempuh sekolah menengah, kebanyakan perempuan Jepang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Kalaupun ada ibu yang mencari nafkah, biasanya bekerja part time agar bisa berada di rumah saat anak-anak pulang sekolah. Tidak hanya untuk memberi makan, tetapi lebih-lebih membantu mereka menyelesaikan dan menguasai PR dan atau menemani mengikuti pelajaran privat demi penyempurnaan pendidikannya. Kisah Naoko Yamazaki, serang astrounot wanita Jepang yang juga seorang ibu rumah tangga, membangkitkan kesadaran tentang semakin meningkatnya peranan perempuan dalam kehidupan masyarakat. Kaum perempuan, pada ujungnya, memiliki kesetaraan derajat dengan kaum pria. Kalau melihat pada kehidupan ekonomi, kaum perempuan di Jepang memang bukan kaum yang terpinggirkan. Hak sosial, politik, maupun kesehatan (biasanya dilihat dari angka kematian ibu yang melahirkan), semuanya sama, bahkan lebih baik dari kaum pria. Namun dalam peranan mereka di pekerjaan dan perusahaan, nilai-nilai tradisional kerap masih dipegang oleh banyak keluarga. “Okikunatara okasan ni naritai”- kalau besar ingin menjadi ibu- inilah jawaban anak-anak Jepang seperti itu, rasanya tidak dimiliki oleh anak-anak perempuan di Indonesia.
Belajar dari Ibu kita Kartini, dari isi surat beliau :
“Kami di sini meminta, ya memohonkan, meminta dengan sangatnya supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukanlah sekali-kali karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan itu saingan orang laki-laki dalam perjuangan hidup ini, melainkan karena kami, oleh sebab sangat yakin akan besar pengaruh yang mungkin datang dari kaum perempuan-hendak menjadikan perempuan itu lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan oleh Alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu-pendidik manusia yang pertama-tama.(4 Oktober 1902 Kepada Tn Anton dan Nyonya. Habis Gelap Terbitlah Terang terjemahan Armijn Pane. PN Balai Pustaka 1985)
Padahal beliau kala itu tidak menuntut kesetaraan dengan laki-laki dalam segala bidang, beliau hanya memintakesetaraan hak dalam memperoleh pendidikan, sehingga bisa menjalankan fungsinya, kewajibannya sebagai pendidik anak-anaknya dengan lebih optimal.
Belajar dari contoh ibu teladan di atas, sudah selayaknyalah dibutuhkan perhatian yang serius terhadap kulaitas para ibu. Dibutuhkan pendidikan dari kaum lelaki untuk mencerdaskan para ibu. Dibutuhkan suami yang mendidik istrinya. Dibutuhkan kesungguhan para ibu untuk menjadi ibu sejati. Dibutuhkan bapak dan ibu yang mendidik anak perempuannya untuk siap menjadi ibu. Dibutuhkan keseriusan pemerintah untuk mendirikan sekolah ibu. Dibutuhkan keseriusan semua pihak untuk menjadikan Indonesia ini sebagai bangsa besar yang bermoral, sejahtera, dan manjadi teladan bagi bangsa lain. Wallohu a’lam bishowab.

Tidak ada komentar:

Ibnu Sina#Khazanah